Blue Chip Stocks Adalah

Cara Dapat Bonus Saham :

Turnaround Stocks: What to Look For

Let’s begin with Management. In most cases, weak management is the key that drove the company into a crisis. In some cases, if management is up to the task, it can admit the error of its ways and set out to show investors, employees and customers that it can reverse strategies. But very often, a restructuring of the executive team (or even the Board of Directors) is required in order to restore investor confidence.

A Plan or Strategy must be defined and with an accompanying timeline. One of the key elements of a good plan is managing cash flows—keeping a sharp eye on revenues and expenses, and cutting out the fluff, which may mean dispensing with businesses that are not contributing enough to the bottom line. Generally, a new strategy will include ideas for additional revenue and profit opportunities—new products, services or markets.

In a few cases, the company’s problem may be due to its environment, where the “paint everything with the same brush” philosophy permeates. Case in point, after the tech wreck of 2000, investors shied away from technology stocks. And following the recession of 2008-2009, investors wouldn’t touch a financial company for years—even those that weren’t involved with the subprime mortgage markets. So when the environment changes, suddenly, companies that were distressed may soon find new footing as turnaround stocks, making them once more attractive to investors. This is often the case with large interest rate moves, which can have a dramatic effect on certain industries, like finance, real estate and cyclical businesses.

Low Price-Earnings Ratios are a good indicator of a cheap valuation, although, as I’ve said in previous articles, “sometimes a dog is just a dog.” But a low P/E is a place to start. It is simply the price of the stock divided by four quarters of earnings (usually the last four quarters, but different analysts and websites use different denominators, so make sure you are comparing apples to apples). Also, investors might want to look at a company’s price/book ratio, which is the price of the stock divided by the sum of its assets, minus intangibles such as goodwill, perceived brand value, etc.

Most turnaround stocks will be trading at low valuations because the market and investors have (hopefully, just temporarily) given up on them. In other words, very few investors are interested in the stock. However, you must also consider that the P/E or P/B may be low because a company has poor management and doesn’t have a clue about turning its fortunes around.

Spikes in revenues and/or earnings are good indications that a company’s turnaround may be working. Again, all the other elements must be in place, but if they are, and the company’s financials begin to perk up, that’s a good indication that a turnaround is underway.

Please realize that investing in possible turnaround stocks is speculative, so make sure your total investment represents just a small portion of your portfolio.

And if you need help coming up with ideas for turnaround stock candidates, I highly recommend subscribing to our Cabot Turnaround Letter, where my colleague Clif Droke highlights promising investment opportunities in stocks poised for a reversal.

Click here to learn more.

*This post is periodically updated to reflect market conditions.

Ketika nasabah baru membuka rekening saham di perusahaan efek (biasa juga disebut sekuritas), ia akan dibuatkan rekening dana baru yang disebut Rekening Dana Investor (RDI). RDI adalah rekening bank atas nama investor, tapi aksesnya hanya untuk transaksi saham, sehingga tidak dapat digunakan untuk kepentingan lain.

Lantas, berapa besaran uang deposit atau setoran awal yang ideal ditanamkan di RDI? Apakah puluhan juta, jutaan, atau beberapa ratus ribu rupiah saja?

Sebagai perbandingan, pada tahun 1998 ketika investor ritel hendak berinvestasi saham, mereka harus merogoh kantong setidaknya 50 juta rupiah untuk deposit pertama di RDI. Angkanya kemudian dipangkas lagi oleh sekuritas menjadi sekitar 25 juta rupiah.

Tingginya angka deposit ketika itu dipengaruhi besaran minimal pembelian saham yang dihitung berdasarkan lot. Saat itu 1 lot berisi 500 saham. Itu sebabnya pasar modal bak berada di menara gading, eksklusif, alias hanya orang berduit saja yang bisa berinvestasi saham.

Namun, sejak 6 Januari 2014, Bursa Efek Indonesia mengubah aturan 1 lot dari 500 saham menjadi 100 saham. Perlahan, kebijakan ini membuat saham makin terjangkau. Tak hanya kaum berdasi, kini saham bisa dibeli masyarakat luas, mulai dari ibu rumah tangga, sopir, satpam, hingga tukang ojek.

Ditambah lagi, banyak sekuritas kian gencar mendorong nasabah baru, khususnya anak muda, untuk masuk pasar modal. Salah satu caranya adalah dengan menurunkan jumlah deposit.

Kendati pada praktiknya setiap sekuritas memiliki kebijakan masing-masing, setoran awal RDI yang disyaratkan pun berlainan. Angkanya mulai dari Rp 10 juta, Rp 5 juta, Rp 3 juta, atau bahkan hanya Rp 100.000.

Untuk bertransaksi saham di PT Mandiri Sekuritas (Mandiri Sekuritas), investor sudah dimudahkan dengan berbagai cara. Nasabah dapat membuka rekening melalui MOST Web di www.most.co.id, aplikasi MOST, MOST App di laptop dan komputer, atau menggunakan MOST Mobile di ponsel pintar. Mandiri Sekuritas pun merekomendasikan besaran deposit yang ideal, yakni 10 juta rupiah.

Kenapa sebesar itu? Salah satu pertimbangan utama ialah bahwa dengan setoran 10 juta rupiah, investor dapat fokus berinvestasi di saham-saham unggulan (blue chip), yang sebagian besar masuk dalam indeks LQ-45. LQ-45 adalah deretan 45 saham paling likuid dengan kapitalisasi pasar terbesar di Bursa Efek Indonesia (BEI).

Saat yang Tepat Masuk Pasar Modal

Saat ini adalah waktu yang tepat untuk masuk ke pasar modal mengingat Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG), indeks acuan utama di BEI tengah berada di level rendah. Sejak awal tahun hingga 27 Maret, IHSG sudah terjun  27,84% di level 4.545,57.

"Siapa yang tak mau beli (saham) di harga rendah dibandingkan harga tinggi? Benar-benar aneh. Harusnya mereka berharap pasar saham turun, jadi mereka bisa membeli (saham) di harga murah," kata Warren Buffett, tokoh investor global, seperti dikutip Business Insider, 29 Februari 2020.

Penurunan IHSG memicu valuasi berdasarkan price to earnings ratio (PER) sehingga saham-saham di BEI juga turun. PER adalah perbandingan antara harga saham dengan laba bersih per saham untuk menilai valuasi saham, yang menentukan apakah saham sedang murah atau mahal.

Sebenarnya tidak ada angka baku PER. Namun, lazimnya adalah, kian rendah PER, maka makin murah valuasi saham emiten tersebut. Mengacu data BEI, beberapa saham di indeks LQ-45 juga mencetak PER kecil. Salah satunya adalah saham dari emiten tekstil PT Sri Rejeki Isman Tbk (SRIL) atau Sritex.

Sejak 27 Maret, PER saham produsen tekstil asal Solo itu sangat rendah, yakni 2,29 kali. Sejak awal tahun (year to date), saham SRIL anjlok 41,15% di level Rp153/saham. Dengan 10 juta rupiah, investor dapat membeli 650 lot saham SRIL (65.000 saham). Perlu dicatat bahwa saham SRIL setahun terakhir pernah menyentuh Rp362/saham.

Saham lain dengan PER rendah yakni yang diterbitkan PT Matahari Department Store Tbk (LPPF), yakni 2,80 kali di level harga Rp1.365/saham. Dengan dana 10 juta rupiah, investor bisa mendapatkan 73 lot saham.

Saham perusahaan tambang batu bara PT Adaro Energy Tbk (ADRO) juga mencatat PER rendah 5,63 kali saat ini, yakni di harga Rp990/saham. Dengan dana 10 juta rupiah, investor bisa membeli ADRO sebanyak 100 lot saham. Saham ADRO pernah tembus Rp1.655/saham setahun terakhir.

PER biasanya tak dipakai untuk menilai mahal atau murahnya saham perbankan. Untuk menilai bank, biasanya menggunakan rasio price to book value (PBV), yakni penilaian harga saham dengan nilai buku perusahaan. Biasanya, saham yang memiliki rasio PBV besar berarti memiliki valuasi tinggi (overvalue) alias kemahalan, sedangkan saham dengan PBV di bawah satu kali, memiliki valuasi rendah dan harga sahamnya murah alias undervalue.

Misalnya, saham PT Bank Mandiri (Persero) Tbk (BMRI), induk perusahaan Mandiri Sekuritas, memiliki PBV sebesar 1,13 kali di level harga Rp4.940/saham. Untuk 1 lot saham Bank Mandiri, investor hanya perlu merogoh Rp494.000. Namun, dengan 10 juta rupiah, nasabah dapat membeli 20 lot saham BMRI, yang mana level tertingginya pernah menyentuh Rp8.150/saham setahun terakhir.

Bagaimanapun, pilihan kembali ke masing-masing investor. Apakah mau mengalokasikan 10 juta rupiah miliknya untuk satu saham saja, atau menginvestasikannya ke beberapa saham? Investopedia mencatat, demi diversifikasi, investor global (ritel dan profesional) lazimnya memiliki sekitar 15-20 saham dalam portofolio, bukan hanya satu saham.

Namun, bila seseorang ingin fokus jadi investor jangka panjang, investor tersebut wajib melihat sisi fundamental (kinerja) emiten bersangkutan, selain memperhatikan PER dan PBV. Jangan terpaku pada berapa volume saham yang dibeli, tetapi sebaiknya fokus saja pada kualitas fundamental emiten.

Jadi, sedang siap-siap belanja saham apa, nih?

Ayo, semangat berinvestasi di pasar modal!

PT Mandiri Sekuritas terdaftar dan diawasi oleh Otoritas Jasa Keuangan

Care Center: 1500 178

Cara Membagikan Kode Ajaib-mu:

Untuk Syarat & Ketentuan selengkapnya dapat ditemukan di bawah ini.

Domain resmi Ajaib adalah “https://ajaib.co.id/” dan semua korespondensi resmi ataupun korespondensi email yang dikirimkan oleh kami akan menggunakan platform resmi aplikasi Ajaib dan/atau alamat email yang berakhiran “@ajaib.co.id”, seperti “[email protected]” (“Media Resmi Ajaib”). Selain melalui Media Resmi Ajaib, kami tidak pernah meminta informasi yang bersifat pribadi dan rahasia seperti, data pribadi, kata sandi atau PIN (personal identification number), dan/atau kode OTP (one-time password) pengguna (“Informasi Rahasia”) melalui email, sosial media maupun media dan bentuk komunikasi lainnya. Jangan pernah memberitahukan Informasi Rahasia anda kepada pihak lain, termasuk pihak-pihak yang mengatasnamakan Ajaib. Semua pemberian Informasi Rahasia kepada pihak-pihak yang mengatasnamakan Ajaib namun tidak berasal dari atau tidak menggunakan Media Resmi Ajaib merupakan tanggung jawab pribadi pihak pemilik Informasi Rahasia dan kami tidak bertanggung jawab atas setiap penyalahgunaan Informasi Rahasia yang dilakukan oleh pihak-pihak yang mengatasnamakan Ajaib yang tidak berasal dari atau tidak menggunakan Media Resmi Ajaib.

For most of the last two years, it’s been the high-flying tech stocks that have garnered all the headlines. But the economy is strong, interest rates are falling, and the bull market is spreading to other areas of the market, like value and turnaround stocks.

Former Cabot CEO Tim Lutts’ three criteria for turnaround stocks are capable management, a good plan and a revival of revenue growth. But let’s dig a little deeper into using those criteria to find turnaround stocks.

Ada yang nanya kok bisa jadi cash cow, emang berapa DYnya 🤓dari data di kontan tadi yak coba kita cekProyeksi AADI 2025 • Produksi: 65,48 juta ton batubara (disetaunkan) • Ambil Harga rata-rata: USD 130/ton • Pendapatan: Rp 127,6 triliun • Laba Bersih: Rp 19,14 - 25,52 triliun (ambil margin 15%-20%)Dividen dan DPS • Payout ratio: 45% dari prospektus IPO • Dividen: Rp 8,61 - 11,49 triliun • DPS: Rp 1.105 - 1.476/saham (dengan 7,78 miliar saham)Valuasi (Harga Sekarang: 9200) • EPS: Rp 2.458 - 3.278 • P/E Ratio: 2,81 - 3,75 • Dividend Yield: 12% - 16%Klo pesimis ngikut analisa FEAR aka pesimis longsor ke IPO 5550 • EPS: Rp 2.458 - 3.278 • P/E Ratio: 1,69 - 2,26 • Dividend Yield: 19,9% - 26,6%random tag$ADRO $AADI