Kenapa Kratos Membunuh Semua Dewa

Kratos beberapa kali kehilangan anggota keluarganya akibat perlakuan para dewa

Alasan paling klasik dari semua pembantaian Kratos pada para dewa sendiri adalah ia sering kehilangan kerabatnya akibat ulah para dewa.

Dalam seri Ghost of Sparta, Kratos diceritakan pernah kehilangan saudaranya, Deimos akibat ramalan Marked Warrior yang membuat para dewa khawatir Olympus akan runtuh. Ia sendiri terpisah dengan Deimos yang diculik Ares dan Athena ke dunia kematian yang dikuasai Thanatos.

Kratos sendiri memang berhasil membebaskan Deimos. Namun saudaranya malah justru harus gugur akibat serangan Thanatos. Akibatnya, Kratos naik darah dan mengumpulkan semua kekuatannya untuk menghabisi dewa kematian tersebut.

Di sekuel cerita utamanya, Kratos juga harus menyaksikan kematian istri dan anaknya sendiri akibat ulah Ares yang ingin menjadikannya sebagai prajurit ideal.

Gara-gara itu, Kratos memilih memberontak melawan tuannya sendiri dan berhasil membunuh Ares berkat bantuan para dewa kala itu.

Kratos diketahui berhasil membalaskan dendamnya pada Zeus di God of War 3 namun hal itu meninggalkan semacam trauma dalam dirinya

Dendam Kratos atas semua perbuatan Zeus pada hidupnya akhirnya terbalaskan di God of War 3.

Setelah menemukan rahasia kekuatan harapan dalam Kotak Pandora, Kratos berhasil mengalahkan ayahnya tersebut untuk selama-lamanya.

Akan tetapi, hal itu juga meninggalkan trauma pada diri Kratos. Hal itu terlihat pada saat ia dan Atreus melihat ilusi Kratos dan Zeus berkelahi saat terjebak di Helheim.

Oleh karena itu, Kratos selalu mencoba mendidik Atreus dengan baik agar tak mengalami nasib yang sama dengan para pendahulunya.

Itulah pembahasan mengapa Kratos begitu membenci Zeus.

Bagaimana pendapat kalian?

Untuk informasi yang lebih lengkap soal anime-manga, film, game, dan gadget, yuk gabung komunitas Warga Duniaku lewat link berikut:

Discord : https://bit.ly/WargaDuniaku

Tele : https://t.me/WargaDuniak

Baca Juga: Serial Live-Action God of War Diumumkan untuk Prime Video!

Karya-karya sang pengarang Cekia yang meninggal seratus tahun lalu sedang mengalami renaisans di TikTok dan X.

Mereka yang belum pernah membaca ceritanya pun mungkin saja mengenal ilustrasinya: Seekor kumbang yang telentang di atas ranjang sambil menggerak-gerakkan kakinya yang kurus di udara dengan sia-sia. Gambar aslinya diilhami oleh cerita Metamorfosis karya Franz Kafka. Untuk mereka yang masih bingung: Karya yang terbit pada tahun 1915 itu mengisahkan Gregor Samsa, yang secara misterius berubah menjadi serangga raksasa dalam waktu semalam.  Kisah itu dengan cepat menjadi bagian dari kanon sastra Barat, tetapi sekarang tampaknya anak-anak muda berbondong-bondong menemukan kembali teks itu berikut keseluruhan karya Kafka. Di TikTok, #kafka telah dilihat lebih dari 130 juta kali, dan para penggemar Kafka berharap bisa merasakan kasih sayang seperti kasih sayang Kafka kepada Milena . Tentu saja juga ada fancam Kafka. Pada saat yang sama, postingan di Tumblr (ya, platform itu sedang naik daun lagi) yang mengutip catatan harian Kafka yang suram meraup ribuan komentar: “Tidak sanggup tidur, tidak sanggup bangun, tidak sanggup (…) menahan kehidupan” adalah salah satunya. Nyaris mustahil untuk menjelajahi X tanpa menemukan versi meme dari gambar kumbang tadi, apakah dalam bentuk retwit dengan tag “Unileben“ atau dengan payudara ukuran DD pada tubuh serangga kecil itu dengan judul “ketika laki-laki menulis tentang perempuan yang sakit psikis”. Baru-baru ini, gambar FKA Twigs sebagai kecoa memicu diskusi mengenai blackfacing, tetapi juga mengingatkan beberapa pengguna kepada cerita Metamorfosis. “Dia lagi dalam fase Kafka,” seseorang berkomentar.  Dr. Dan Hall mengajar sejarah dan budaya Jerman pada University of Warwick dan juga berminat kepada Kafka. “Ia menangkap dengan cara yang sangat gamblang bagaimana banyak orang – bukan hanya orang muda, tetapi mungkin terutama orang muda – mengalami kehidupan modern. Pihak berwenang memiliki aturan tersendiri yang semena-mena dan tidak dapat dipahami, dan orang per orang menjadi terkucilkan, terasing, terisolasi, sendirian,” ia menjelaskan. Bentuk humor khas Gen Z – sinis, absurd, kering – juga mewarnai banyak bagian karya Kafka. “Kita sudah menyaksikan antara lain munculnya teror ekstremis dan populisme kanan, beberapa perang, Musim Semi Arab, krisis keuangan global, sebuah pandemi dengan enam juta korban tewas, dan juga krisis iklim,” salah satu mahasiswa Dr. Hall menjelaskan lewat email. “Lalu kita mencoba untuk memaknai mimpi buruk yang – kalau boleh dikatakan – Kafkaesque ini lewat lelucon, yang membuat humor kita malah semakin nihilistis. […] Karena itu, pengarang seperti Kafka ibarat dewa bagi [orang muda] – terutama mengingat keabsurdan situasi Gregor dalam Metamorfosis. Cerita itu terasa akrab dan menentramkan, tetapi sekaligus begitu mengada-ada.” Di antara kita pastinya tidak ada yang pernah bangun tidur sebagai kumbang, namun tak pelak banyak yang sudah pernah merasa tidak dimengerti, terkungkung dan terasing.

Satu sebab lagi untuk daya tarik ini tentu nuansa sosialistis yang kental, yang mewarnai sebagian besar karya Kafka. Gregor tidak terlalu memedulikan fakta bahwa ia seekor serangga – kekhawatirannya yang terbesar adalah bahwa ia akan terlambat masuk kerja, membuat atasannya gusar, dan kehilangan pekerjaannya sebagai wiraniaga (yang sebenarnya dibencinya, namun terpaksa dijalani karena alasan finansial). Kedua orang tua dan saudara perempuannya pun tidak mau mengurusnya setelah berubah wujud, karena ia tidak lagi sanggup memenuhi perannya sebagai pencari nafkah utama dalam keluarga – sebua  kritik terang-terangan terhadap kapitalisme yang menilai orang atas dasar kinerja ekonomi. Sementara orang berpendapat bahwa transformasi Gregor itu sendiri pun sudah melambangkan bagaimana kegiatan suruhan merendahkan dan menghilangkan martabat manusia. Tidak diragukan bahwa berbagai sentimen ini – kritik terhadap pekerjaan yang tidak memberi kepuasan dan terlampau hierarkis maupun terhadap sistem kapitalistis yang menciptakan pekerjaan seperti itu – sejalan dengan pemikiran

, yang mengambil sikap sosialistis.

“Bagi kaum muda, pekerjaan tidak lagi menjadi dasar bagi identitas mereka, melainkan merupakan keharusan karena alasan ekonomi,” mahasiswa Dr. Hall tadi menambahkan. “Akibat laju inflasi dan upah yang stagnan, bayaran mereka terlalu kecil dan beban pekerjaan mereka terlalu besar dan mereka letih dan terasingkan. Setelah berubah wujud, Gregor tidak bisa bekerja lagi dan karena itu menjadi tidak berguna bagi keluarganya, majikannya, dan dunia. Itu yang membuatnya hancur. Itu yang membuatnya mati.”

Tidak mengherankan bahwa deskripsi Kafka mengenai isolasi sosial bergaung di kalangan Gen Z –

jelas terlihat kemiripan dengan rangkaian

pada tahun 2020,” demikian tambahan dari Leia yang berusia 20 tahun dan juga merupakan penggemar Kafka. “Kafka menggambarkan dengan sangat baik bagaimana rasanya menjadi terasing di dunia.” Ini tersampaikan lewat situasi Gregor, yang secara harfiah terkurung di kamar tidurnya hampir sepanjang cerita.  Namun, sebelum berubah menjadi kumbang pun ia sudah terkucilkan, tidak memiliki kehidupan sosial atau teman dekat: Ibunya menggerutu bahwa Gregor “tidak pernah keluar pada malam hari,” sementara Gregor sendiri mengeluh bahwa pekerjaannya membuatnya kehilangan kesempatan menjalin persahabatan sejati.

“Cara Kafka menulis tentang keganjilan dan alienasi kehidupan modern benar-benar cocok dengan saya,” ujar Leia. “Banyak masalah besar di dunia saat ini terasa seperti

– [semuanya] terasa tidak terelakkan dan bagaikan mimpi buruk. Menurut saya, generasi muda merasa seakan-akan tidak bisa melakukan apa pun selain menjadi penonton ketika dunia berpaling dari kami.”

” cenderung digunakan secara berlebihan untuk menggambarkan setiap situasi yang tanpa harapan, sama seperti istilah “

” untuk semua yang terdengar kuno. Tetapi Leia tidak salah – banyak hal dalam hidup orang muda memang berkesan

Pada tahun 1991, penyusun biografi Kafka, Frederick Karl, sempat menyatakan di

adalah ketika kita memasuki sebuah  dunia sureal tempat kita berangsur-angsur kehilangan segala mekanisme kontrol, segala rencana, segala sesuatu yang menjadi dasar [perilaku] kita. […] Kita tidak menyerah, kita tidak tiarap dan mati. Kita melawan dengan segala cara yang kita miliki. Tapi tentu saja kita tidak mungkin berhasil.” Dari fakta bahwa hidup generasi muda lebih susah hidup generasi orang tua mereka semakin jelas bahwa kerja keras tidak ada gunanya. Hari demi hari bangun untuk menjalani pekerjaan yang sia-sia dan tidak berguna, tanpa ada harapan untuk meraih sukses atau pun sekadar menutupi

masing-masing? Berbelanja susu oat dan berhenti mengonsumsi daging merah, sementara perusahaan minyak dan gas meraup

“Kami memang kebagian kartu yang buruk,” mahasiswa lain bimbingan Dr. Hall berasumsi. “Tapi kenyataan bahwa kami bisa mengidentifikasi diri dengan [orang seperti Gregor] sebenarnya lucu dan, setidaknya dalam diri saya, membangkitkan semacam rasa senasib yang. Solidaritas. Atau setidaknya, kesediaan untuk memahami.”

Dalam cerita God of War, ada semacam kutukan di mana anak akan selalu bertarung melawan orang tuanya

Buat yang sudah lama memainkan gamenya pasti mengerti pola konflik God of War mengacu pada perseteruan orang tua dan anak dari konflik Kratos dan Zeus.

Hal itu terlihat jelas dalam hampir semua sekuel utama God of War, termasuk versi mitologi Norse.

Kratos sendiri bukan satu-satunya yang terlibat takdir seperti itu. Beberapa karakter lain God of War pun juga digambarkan seperti terikat takdir untuk melawan orang tua mereka sendiri.

Zeus diceritakan pernah melawan ayahnya sendiri, Cronos dalam perang besar dan mengurungnya bersama para Titan di Tartarus. Baldur juga memendam kebencian besar pada Freya setelah kemampuan merasakan miliknya direnggut sang ibu.

Orkos, tokoh yang membantu Kratos juga diceritakan memilih melawan Ares dan Alecto yang notabene masih orang tuanya sendiri.

Hal ini sempat disinggung Atreus sendiri yang sempat tak menyangka setelah mengetahui bahwa kehidupan para dewa selama ini berkaitan dengan takdir keji tersebut.

Follow Duniaku untuk mendapatkan informasi terkini. Klik untuk follow WhatsApp Channel & Google News

Seperti yang kita tahu, Kratos dalam mitologi game God of War terkenal akan keganasannya dalam memburu setiap dewa yang dianggap menghalangi jalannya. Ia tak segan melakukan aneka metode yang dirasa efektif membunuh lawannya.

Kenapa Kratos sampai begitu sering membunuh dewa? Begini penjelasannya!

Baca Juga: Inilah 5 Anggota Keluarga Thor God of War: Ragnarok

Di God of War 2, Kratos diperdaya oleh Zeus dan berakhir terbunuh, namun ia bisa hidup kembali untuk membalas dendam bersama para Titan

Di God of War 2, ulah Kratos menyerang kota Rhodes ternyata berbuntut pada kemarahan pada dewa, termasuk Zeus sendiri.

Gara-gara itu, dewa petir tersebut turun tangan untuk mengambil sebagian besar kekuatan Kratos dan memindahkannya ke patung raksasa kota tersebut.

Ia juga memperdaya Kratos dengan memberi senjata Blade of Olympus yang hanya bisa dicabut jika penggunanya mengorbankan semua kekuatan dewanya yang tersisa.

Alhasil, Kratos pun kembali melemah seperti manusia biasa. Di sinilah, Zeus ingin memanfaatkan peluang itu untuk menjadikan Kratos sebagai pelayan dewa sepenuhnya.

Namun karena ditolak, Zeus pun memilih membunuh darah dagingnya sendiri. Tepat pada saat itu, Kratos bersumpah akan membuat sang dewa petir membayar perbuatannya.

Dan benar saja, Zeus tak mengetahui kalau para Titan ikut campur dalam peristiwa itu dengan menghidupkan Kratos kembali.

Di God of War 2018 & Ragnarok, Kratos sekarang membunuh dewa jika memang benar-benar diperlukan untuk menyelesaikan masalah

Semenjak kejadian di God of War 3, Kratos yang telah menuntaskan dendamnya kini lebih tenang dan mencoba hidup normal bersama Laufey dan Atreus.

Meskipun harus kembali menjadi duda, pria tersebut tetap teguh pada prinsipnya dan memilih fokus mengajari putranya tentang cara bertahan hidup. Ia sendiri kini tak suka bertarung kecuali jika diserang terlebih dahulu atau memang untuk mendapatkan bahan makanan.

Dan benar saja, saat ditemui Baldur, Kratos tak langsung membunuhnya namun hanya menghajarnya sebagai peringatan. Dalam duelnya terakhirnya, Kratos bahkan sempat mengampuni dewa Aesir tersebut.

Sayangnya, karena Baldur kala itu bernafsu membunuh Freya, Kratos pun terpaksa merenggut nyawa dewa tersebut agar mantan ratu Valkyrie itu tak bernasib sama seperti Zeus yang terjebak siklus pembunuhan orang tua dan anak.

Dalam event Ragnarok, Kratos juga terlihat lebih sering fokus bagaimana menghentikan perang besar tersebut ketimbang membantai para dewa.

Satu-satunya yang ia bunuh secara langsung hanya Heimdall seorang karena ia memang berpotensi membahayakan keselamatan Atreus.

Thor yang menjadi rival Kratos malah mati oleh Odin. Sedangkan Odin sang dewa pemimpin sendiri malah tewas setelah bola yang mengurung jiwanya dihancurkan oleh Sindri.

Itulah alasan mengapa Kratos membunuh para dewa baik di daratan Yunani dan Norse.

Bagaimana pendapat kalian?

Untuk informasi yang lebih lengkap soal anime-manga, film, game, dan gadget, yuk gabung komunitas Warga Duniaku lewat link berikut:

Discord : https://bit.ly/WargaDuniaku

Tele : https://t.me/WargaDuniaku

Baca Juga: 6 Momen Paling Mengharukan di God of War: Ragnarok

Follow Duniaku untuk mendapatkan informasi terkini. Klik untuk follow WhatsApp Channel & Google News

Salah satu alasan mengapa Kratos di God of War sering membantai para dewa adalah  dendam kesumatnya pada Zeus, pemimpin mitologi Yunani sekaligus ayah kandungnya sendiri.

Nah, kenapa Kratos sampai begitu membenci Zeus? Begini penjelasannya!

Baca Juga: Kenapa Kratos Membunuh Para Dewa? Begini Penjelasannya!

Di God of War 3, Kratos benar-benar berniat menghabisi para dewa yang menghalangi jalannya untuk balas dendam pada Zeus

Saat perang besar, Kratos yang kala itu bersama para Titan berteriak ke Zeus bahwa ia kembali dengan membawa kehancuran pada Olympus.

Otomatis, Zeus pun menerjunkan para bawahannya seperti Poseidon, Hades Helios, dan Hermes untuk bertarung. Bahkan Hercules pun ikut diterjunkan dalam pertempuran tersebut.

Melihat itu, Kratos pun tak ragu lagi menghabisi semua dewa yang menghalanginya.

Hal itu sendiri ia ucapkan pada Poseidon yang sekarat bahwa ia akan membuat semua dewa yang melawannya mengalami nasib yang sama dengan dewa lautan tersebut.

Tekad Kratos pun akhirnya terpenuhi di mana seluruh dewa Yunani telah tewas dan dunia mitologi tersebut hancur.

Pada kejadian God of War 2, Kratos sempat ingin balas dendam sebelum terbunuh oleh Zeus

Di sekuel kedua God of War, ulah Kratos yang menghancurkan wilayah kota Rhodes sempat membuat marah para dewa. Zeus bahkan harus turun tangan sendiri dengan menyedot kekuatan dewa Kratos dan memindahkannya ke patung raksasa kota Rhodes.

Zeus bahkan memperdayanya dengan memberi Blade of Olympus yang baru bisa dicabut jika Kratos mengorbankan semua kekuatan dewanya. Ia sendiri melakukan semua itu agar dewa perang itu melemah dan mau menurut kepadanya.

Rupanya, Zeus sendiri takut jika Kratos akan membunuhnya seperti dia membunuh Ares sebelumnya.

Di saat kematiannya, Kratos sempat bersumpah akan membuat Zeus membayar semua perbuatannya. Dan benar saja, sumpah itu sendiri terpenuhi karena ia bangkit dari kematian berkat para Titan.

Kratos mengetahui identitas Zeus selaku ayahnya dari Callisto dan kemalangan yang menimpa keluarga mereka di seri Ghost of Sparta

Awalnya Kratos belum mengarahkan kebenciannya pada Zeus. Dewa yang benar-benar ia musuhi kala itu adalah Ares.

Akan tetapi, Kratos mulai mendapat kebenaran baru dari sang ibu, Callisto yang ternyata dikurung Zeus di kuil milik Poseidon. Ia juga memberitahu nasib Deimos yang ternyata dipenjara di teritori Thanatos hanya karena ia memiliki tanda Marked Warrior.

Namun karena memberitahukan nama Zeus, ibu Kratos malah berubah menjadi monster.

Dengan terpaksa, Kratos membunuh sang ibu dengan tangannya sendiri. Hal itu membuat kemarahan Kratos pada para dewa termasuk Zeus mulai tersulut.